#fitrahseksualitas #fitrahestetika
Seorang ibu berusia sekitar 26 tahun, berbusana muslimah sangat rapih, sudah memiliki seorang putra usia 5 tahun, dengan sedih mengatakan bahwa dia tidak pernah bisa menjadikan suaminya sebagai sosok pria yang dicintainya.
Padahal menurutnya tiada yang kurang dari suaminya, dia tampan, gagah, bertanggungjawab, mencintai dirinya (istrinya), sangat sayang pada anaknya. Juga tidak ada lelaki lain di luar sana yang dicintai ibu itu, na'udzubillah.
Ibu muda itu, sambil mencoba nampak tegar, mengatakan bahwa dia sudah berusaha keras mencintai suaminya dan sering berdoa meminta agar Allah menjadikan hatinya condong kepada suaminya, namun belum bisa. Di awal pernikahan memang ada rasa tertarik atau suka, namun perasaan itu tidak pernah bertambah, ya begitu begitu saja.
Tadinya dia fikir ketika menikah maka rasa sukanya akan bertambah dan menjadi cinta, layaknya pasangan yang lain. Karena pernikahan seharusnya begitu bukan? Diawali rasa tenang, kemudian sayang lalu rasa cinta. Nyatanya tidak. Dia bahkan merasa tidak nyaman berada di dekat suaminya.
Ibu muda itu amat gundah, bahkan dia bercerita beberapa kali nyaris melakukan hubungan sejenis dengan perempuan lain atau lesbi, alhamdulillah belum pernah kejadian. Tetapi jika begini terus, cepat atau lambat hal ini bisa saja terjadi katanya.
Usut punya usut, ternyata ketika berusia 12 tahun, ayahanda dari ibu ini melakukan poligami, namun dengan cara yang tidak baik. Jarang pulang ke rumah dan sangat kasar. Dia mengaku sering ditampar dan dipukul ayahnya. Padahal di usia segitu, dia sedang membutuhkan kedekatan dengan seorang ayah.
Inilah rupanya penyebabnya. Dalam kajian pendidikan berbasis fitrah, ditemukan bahwa anak perempuan yang tidak dekat dengan ayah atau tidak memiliki sosok ayah pada usia 11-14 tahun akan menyebabkan berbagai penyimpangan fitrah seksualitas.
Gejala penyimpangan fitrah seksualitas yang paling umum adalah selalu haus akan sosok kasih sayang ayah atau cinta ayah. Mereka akan selalu mencari lelaki yang dapat memuaskan dirinya akan sosok ayah.
Mereka bisa menjadi petualang cinta, (maaf) dari ranjang ke ranjang menukar tubuhnya dengan segenggam "rasa cinta ayah" yang hilang atau tidak pernah hadir dalam hidupnya. Ini fitrah seksualitas dan cinta yang menyimpang karena tidak terpenuhi pada tahapan masa pendidikan fitrahnya.
Kehausan akan rasa cinta itu bagai fatamorgana yang tidak pernah terpuaskan. Konon sebuah riset mengungkapkan bahwa anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya di usia 11-14 tahun, ternyata 6 kali berpeluang menyerahkan tubuhnya pada lelaki yang dianggap dapat menjadi pengganti sosok ayahnya.
Jika sudah menghantam masuk ke alam bawah sadar seperti ini maka harus ditangani serius agar sembuh.
Akibat yang kedua, jika anak perempuan tidak dekat dengan ayahnya pada usia 11-14 tahun, maka fitrah seksualitasnya akan menyimpang dalam bentuk membenci sosok ayah atau sosok lelaki, dia bahkan tidak mampu mencintai suaminya sendiri bahkan cenderung menjadi lesbian. Sosok ayah sama sekali tidak indah di hatinya.
Lalu bagaimana dengan anak lelaki? Hampir serupa. Anak lelaki yang tidak dekat dengan ibunya atau tidak memiliki sosok ibu, terutama pada usia 11-14 tahun, akan mudah melecehkan perempuan, suka berpacaran atau playboy.
Bahkan dalam kasus tertentu apabila anak lelaki membenci ibunya dengan amat sangat maka dia bisa menjadi gay.
Anak lelaki yang tidak dekat dengan ibunya, biasanya kelak menjadi suami yang kasar terhadap istri karena tidak pernah memahami perempuan dari cara pandang perempuan terhadap perempuan. Ini diperoleh secara alamiah apabila dia dekat dengan ibunya atau sosok yang bisa menjadi sosok ibu baginya.
Maka para orangtua terutama ayah kembalilah ke rumah, kewajiban utama adalah mendidik anak bukan mencari nafkah. Ketika anak anak beranjak remaja umumnya para ayah mulai menanjak karirnya, mulai menempati posisi penting dengan segala kesibukkannya.
Pada fase ini beberapa ayah mulai kaya dan nampak mulai ingin menikah lagi atau menjadi genit kembali dsbnya sehingga mengabaikan pendidikan fitrah anak anaknya.
Biasanya memboarding schoolkan anak yang belum aqilbaligh, usia 11-14 menjadi pilihan keluarga sibuk dengan beragam alasan, padahal fitrah seksualitas belum tumbuh benar.
Ingat bahwa fitrah seksualitas harus tumbuh paripurna bersama kehadiran penuh ayahibunya melalui kelekatan yang intens sejak dalam kandungan sampai aqilbaligh.
Banyak kasus LGBT terjadi di Boarding School di seluruh dunia. Itu karena memang semua fitrah manusia ini sejatinya harus terpenuhi dan berkembang termasuk fitrah seksualitas, jika tidak maka penyimpangan fitrahlah akibatnya.
Lihatlah Siroh atau perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, beliau tidak pernah kehilangan sosok ayah dan sosok ibu sepanjang kehidupannya sejak dalam kandungan sampai aqilbaligh.
Maka fitrah seksualitas beliau tumbuh indah paripurna menjadi peran lelaki sejati dan peran ayah sejati dengan cinta sejati.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#fitrahbasededucation
Ustadz Harry Santosa
Monday, 8 August 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment