23. Mengungkit kesalahan masa lalu
Kebiasan
menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan
dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak kita,
yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak
kita. Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau
dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua
ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih.”
Kiat
berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari
masalah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan
berusaha mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit
hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita
tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah diungkit ungkit masa
lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah ia. Ikutlah
berempati sampai dia mengakui kesalahan dan kekeliruannya.
Ucapkan
pernyataan seperti “manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini
menjadi pelajaran berharga buat kamu”, atau “Papa/mama bangga kamu bisa
menemukan hikmah positif dari kejadian ini”. Jika ini yang kita lakukan,
maka selanjutnya dia akan lebih mendengar nasehat kita. Coba dan
buktikanlah!.
24. Suka Membandingkan
Hal yang
paling menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan orang lain. Bila
kita sedang berada di suatu acara dan bertemu dengan orang yang
berpakaian hampir sama atau berwarna sama, kita merasa tidak nyaman
untuk berdekatan. Apalagi jiak disbanding bandingkan [FTR, saya tidak
merasa seperti ini lho!]
Secara
psikologis, kita sangat tdiak suka bila keberadaan kita baik secara
fisik atau sifat sifat kita dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat
ingatlah pengalaman kita saat ada orang yang membandingkan kita,
bagaimana perasaan kita saat itu?
Tetapi
anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal
ini pada anaknya.
Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin.
Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang
lamban. Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan
anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya
seperti, “Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai
kamu tidak seperti ini!”.
Jika kita
tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung
kita rasakan; anak kita makin tidak menukai kita. anak yang dibandingkan
akan iri dan dengki dengan si pembanding. Anak pembanding akan merasa
arogan dan tinggi hati.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tiap manusia
terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan sekali kali
membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan perilaku
masing masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah dengan
perilaku mereka di masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal yang
ingin mereka capai. Misalnya, “Eh, biasanya anak papa/mama suka
merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak ya?”
25. Paling benar dan paling tahu segalanya
Egosentris
adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia tersebut
adalah masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya.
Tapi entah mengapa ternyata sifat ini terbawa dan masih banyak dimiliki
oleh para orang tua. Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu ini anak bau
kencur, tau apa kamu soal hidup.” Atau, “kamu tau nggak, kalo papa/mama
ini sudah banyak makan asam garam kehidupan, jadi nggak pake kamu
nasehatin papa/mama!”.
Jika kita
memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi
dengan anak mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk
menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak
adalah semacam kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang
pun mau mendengarkan nasehat orang yang sombong.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Seringkali
usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya
pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat
ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan
informasi dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih
banyak tahu dan berpengalaman.
Jadi
janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling
alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.
26. Saling melempar tanggung jawab
Mendidik
anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu. Bila
kedua belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses
pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya
lagi, bila orang tua sudah mulai merasakan dampak perlawanan dari anak
anaknya, yang sering terjadi malah saling menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan
yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”, dan
kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama
ini kemana aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga, akankah
menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang
akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah
bukan karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari
orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin
berperilaku buruk.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Hentikan
saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua secara
berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan
adalah kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada
waktu, semua orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah
waktu kita dengan berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan
pasangan kita.
Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
27. Kakak harus selalu mengalah
Di negeri
ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu mengalah
pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah menjadi budaya.
Tapi sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?
Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada seorang
kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya
selaku pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa
mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan benar, si Nenek
selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya.
“Kamu
ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah ama adiknya.”
Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang dibumbui
dengan cubitan pada kakaknya.
Apa yang
terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya
diri. Ia pun mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak
melawan atas ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua
bersaudara ini makin sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu
dibela bela menjadi makin egois dan makin berani menyakiti kakaknya,
selalu merasa benar dan memberaontak. Sang nenek perlahan lahan
menobatkan Radja Ketjil yang lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Anak harus
diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya terlepas
dari apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak
mengenal konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu salah
berapapun usia pelakunya.
Berlakulah
adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil keputusan.
Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan main
yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak anda.
28. Menghukum secara fisik
Dalam
kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai
dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang
menyakiti anak.
Jika kita
terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang
kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara
destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman sebayanya.
Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul.
Anak yang suka memukul temannya pada umumnya adalah anak yang sering
dipukuli di rumahnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit,
memukul, atau menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk,
sabuk, rotan, atau sabetan.
Gunakanlah
kata kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah
evaluasi diri kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama
ini telah kita lakukan dan menyebabkan anak kita berperilaku seperti
ini.
29. Menunda atau membatalkan hukuman
Kita semua
tahu bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari kanker, impotensi,
sampai gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa masih banyak yang
tidak peduli dan tetap membandel untuk terus menjadi ahli hisap? Jelas
karena akibat dari rokok itu terjadi kemudian dan bukan seketika itu
juga.
Begitu juga
dengan anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau
sanksi bila anak berperilaku buruk, jangan menunggu waktu yang terlalu
lama, menunda, atau bahkan membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.
Bila telah
terjadi kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta
dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk
merengek, kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang
kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya
kietika anak berhenti merengek , kita menganggap masalah susah selesai
dan akhirnya kita menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena
lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita
hanya omong doang, maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar
kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jila kita
sudah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi harus
dilaksanakan, jika kita kasihan, kita bisa mengurangi sanksinya, dan
usahakan hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan bobot
kesukaan mereka seperti jam bermain, menonton tv, ataupun bermain video
game.
30. Terpancing Emosi
Jika ada
keinginannya yang tidak terpenhi anak sering kali rewel atau merengak,
menagis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi kita yang apda
kahirnya kita marah atau malah mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi
anak, anak akan merasa menang, dan merasa bisa megendalikan orang
tuanya. Anak akan terus berusaha mengulanginya pada kesempatan lain
dengan pancingan emosi yang lebih besar la gi.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Yang terbaik
adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah
anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak
akan mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap
berulah, kita katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan
kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah pernyataan itu
kita keluarkan, lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan mata pada anak
kita yang berulah, hingga ia berhenti berulah, Bila proses ini
membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk melakukannya. Dalam
proses ini kita jangan malu pada orang yang memperhatikan kita; dan
jangan pula ada orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang
berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA
SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
31. Menghukum Anak Saat Kita Marah
Hal yang
perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah memberikan
sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita sedang memuncak.
Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut
kita, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung menyakiti
dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin tersebut
akan membekas meski ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam
pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar batas.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
- Ø bila kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
- Ø Saat marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada anak kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah kita memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.
32. Mengejek
Orang tua
yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat
anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak
menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal
atau malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang
sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia
menganggap kita juga seperti teman2nya yang suka menggodanya,
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Jika ingin
bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak
membuatnya malu atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika
seolah-olah kitalah yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap
aka n menghormati kita sesudah acara canda selesai. Jagalah batas2 dan
hindari bercanda yang bisa membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana
caranya? Lihat ekspresi anak kita. Apakah kesal dan meminta kita segera
menghentikannya? Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu meminta
maaflah ayas kejadian yang baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak
bermaksud merendahkannya dan kita berjanji tidak akan mengulanginya
lagi.
33. Menyindir
Terkadang
karena saking marahnya orang tua sering mengungkapkannya dengan kata2
singkat yang pedas dengan maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini
sudah pulang”, atau “Sering2 aja pulang malem!” atau”Memang kamu pikir
Mama/Papa in satpam yang jaga pintu tiap malam?”.
Kebiasaan
ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya tapi
malah sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak
dengan kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin
berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah
secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak
menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja,
“Sayang, Papa/Mama khawatir akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang
terlalu malam”. Dan sejenisnya.
34. Memberi julukan yang buruk
Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah
diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya
anak ingin membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang
tuanya.
Solusinya
Mengganti
julukan buruk dengan yang baik, seperti, anak baik, anak hebat, anak
bijaksana. Jika tidak bisa menemukannya cukup dengan panggil dengan nama
kesukaannya saja
.
35. Mengumpan Anak yang Rewel
Pada saat
anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu de ngan memaksa,
kita biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang lain. Hal
ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang terjadi
malah sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi.
Contohnya, anak
menangis karena ia minta dibelikan mainan, Kemusian kita berusaha
membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan perhatiannya seperi, ” Tuh
lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat,
gambar apa ya lucu banget?”
Ingatlah
selalu, pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkannya, ia
akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif.
Anak kita pada umumnya adalah anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan
ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat penyelesaiannya.
Semakin kita berusaha mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak
kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan
apa yang diinginkan oleh anak kita dengan membicarakannya dan membuat
kesepakatan di tempat, jika kita belum sempat membuat kesepakatan di
rumah. Katakan secara langsung apa yang kita inginkan terhadap
permintaan anak tesebut, seperti “Papa/Mama belum bisa membelikan mainan
itu saat ini. Jika kamu mau harus menabung lebih dahulu. Nanti
Papa/Mama ajari cara menabung. Bila kamu terus merengak kita tidak jadi
jalan-jalan dan langsung pulang.”
Jika kalimat ini yang kita katakan dan
anak kita tetap merengek, segeralah kita pulang meski urusan belanja
belum selesai, Untuk urusan belanja kita masih bisa menundanya. Tapi
jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
36. Televisi sebagai agen Pendidikan Anak
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
- Ø berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
- Ø oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu program2 TV?
- Ø oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2 TV yang lebih menyenangkan?
- Ø oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?
Apa yang seharusnya kita lakukan?
- Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
- Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
- Gantilah program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif
37. Mengajari Anak untuk Membalas
Sebagian
anak ada yang memiliki kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi
menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan
sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kita
disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk membalasnya.
Hal ini secara
tidak langsung mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi
anak sedang sensitif dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas.
Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang
kita sampaikan kepadanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?:
- mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
- Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
- ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.
selesai..
fiuhhh...panjang yakkk..
slamat berjuang jd ortu luar biasa.. :D
0 komentar:
Post a Comment