11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak
Acapkali
kita tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila
hal ini terjadi, tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk
melawan kita.
Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada saat kita
bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan
rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus
mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan seringkali membuat
kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita seringkali luluh
karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya kita
mengiyakan keinginan si Anak. “Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu
saja ya!”
Pernyataan
tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si Anak. Anak akan
mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain bahkan mungkin
dengan cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi
kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut
dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang beefikir
demikian belum membaca buku tentang ini dan mengalami masalah yang sama
dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali
kite konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN
dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah
pada perilaku buruk si anak.
12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik
Kehidupan
metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak menghabiskan
waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya
waktu inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas
situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para orang tua
menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering
dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin akrena saya juga yang
jarang bertemu dengannya…”
Semakin kita
merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku
buruk anak kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat
anak, akan semakin sering ia melakukannya. Sebagian besar perilaku anak
bermasalah yang pernah saya (penulis) hadapi banyak bersumber dari cara
berpikir orang tuanya yang seperti ini.
Apa yang sebaiknya kita lakukan? .
Apa pun yang
bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang terbaik.
Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu kita
dengan orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama.
Ada orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin waktu
bertemu dengan anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal yang
tidak baik.
Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit
waktu; gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya
antara sisa2 tenaga kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi
mereka dan keluarga kita, anak akan terbiasa.
13. Mudah menyerah dan pasrah
Setiap
manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang
keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian
orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan
cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang
yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras.
Dalam kondisi kita
sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru
keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih
dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit
mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis]
sering mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis,
“Duh… anak saya itu memang keras betul… saya sudah nggak sanggup lagi
mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup
lagi mendidiknya.”.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajarlah
dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil
keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak
perlu ambil orang orang yang kita anggap tegas untuk jadi penasihat
harian kita.
14. Marah Yang Berlebihan
Kita
seringkali menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Perlu untuk
selalu diingat, memarahi adalah salah satu cara mendidik yang paling
buruk. Pada saat memarahi anak, kita tidak sedang mendidik mereka,
melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kita karena kita tidak bisa
mengatasi masalah dengan baik. Marah juga seringkali hanya berupa upaya
untuk melemparkan kesalahan pada pihak lain [dan biasanya yang lebih
lemah, kalo ama yang lebih kuat ya takut].
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman
untuk kita lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi menghindar
sehingga amarah mereda. Yang perlu dilakukan adalah bicara “tegas” bukan
bicara “keras”. Bicara yang tegas adalah dengan nada yang datar, dengan
serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah
bicara pada saat pikiran kita rasional, sedangkan bicara keras adalah
pada saat pikiran kita dikuasai emosi.
Satu contoh
lagi yang kurang baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan
mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak kita sesali, setelah ini
terjadi, biasanya kita akan menyesal dan berusaha memperbaikinya dengan
memberikan dispensasi atau membolehkan hal hal yang sebelumnya kita
larang. Bila hal ini berlangsung berulang kali, maka anak kita akan
selalu berusaha memancing amarah kita, yang ujung ujungnya si anak
menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi cenderung tidak jadi lebih
baik kok.
15. Gengsi untuk menyapa
Kita pasti
pernah mengalami bahwa kita terlanjur marah besar pada anak, biasanya
amarah terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal yang masih
tersisa dan rasa gengsi, kita enggan menyapa anak kita. Masing masing
pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal.
Apa yang
harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali? Siapa yang
seharusnya memulai? Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai
saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti
keinginan kita. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa
kita tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.
16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Ini biasanya
terjadi pada kebanyakan orang tua konservatif. Misalnya melihat anak
laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak, orang tuanya
cenderung mengatakan, “Yah… anak cowo emang harus bandel” atau saat
melihat kakak adik lagi jambak jambakan, mamanya bilang “maklumlah…
namanya juga anak anak”. Atau bahkan ketika si anak memukul teman atau
mbaknya, orang tua masih juga sempat berkelit dengan mengatakan “ya
begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak. Nggak sengaja…”
Bila kita
selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak, otomatis si
anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan jadi sangat buruk kalau
terbawa sampai ke dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak
perlu memaklumi hal yang tidak perlu dimaklumi kok, kita harus mendidik
setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa
dididik dengan tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun. Semakin
dini usianya, semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja sama. Anak
kita akan mau bekerja sama selama kita selalu mengajaknya dialog dari
hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ingat, tidak perlu menunggu hingga
usianya beranjak dewasa, karena semakin bertambah usia, semakin tinggi
tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.
17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa
sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti “Awas ya,
kalau kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh nakal!” atau, “awas
ya, kalau nanti diajak sama mama/papa, jangan bikin malu mama”, bisa
juga terungkap, “kalo mau jalan jalan ke taman bermain, jangan macam
macam ya”.
Nah, tanpa
disadari kita seringkali menggunakan istilah istilah yang sulit
dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan membingungkan anak
kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal,
tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal, begitu pula dengan
istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang termasuk kategori “macam
macam”. Selain bingung, mereka juga akan menebak nebak arti dari
istilah istilah tersebut.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah
dengan jelas dan spesifik, misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut
mama/papa, tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak
teriak di kasir seperti kemarin ya”. Hal ini penting agar anak
mengetahui batasan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
serta jangan lupa menyepakati apa konsekuensinya bila kesepakatan ini
dilanggar.
18. Mengharap perubahan instan
Kita
terbiasa hidup dalam budaya yang serba instant, seperti mie instant,
susu instant, teh instant. Sehingga kita anak berbuat salah, kita sering
ingin sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa terlambat
bangun, nggak beresin tempat tidur, sulit dimandikan, kita ingin agar
anak kita berubah total dalan jangka waktu sehari.
Apabila kita
sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa
tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika
ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak
yakin bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan
perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah
pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita
mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk
tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari
target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin,
ajaklah ia untuk melakukan perubahan dari hal yang paling mudah.
Biarkanlah ia memilih hal yang paling mudah menurutnya untuk diubah.
Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk
melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu
rayakan keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun
perubahan itu. Hal ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita
terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian
kita pada usahanya, bukan pada hasilnya.
19. Pendengar yang buruk
Sebagian
besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak anaknya. Benarkah?
Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih suka
menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya serta
asal usul kejadiannya.
Sebagai
contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya
siang, dia datang di sore hari. Kita tidak mendapat keterangan apapun
darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan
sekaligus khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah,
kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan.
Bahkan setiap kali anak hendak bicara, kita selalu memotongnya.
Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Bila kita
tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap
seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita
tidak menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar
yang baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan
untuk menunjukkan ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.
20. Selalu menuruti permintaan anak.
Apakah anak
kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang ditunggu tunggu
dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang
sudah bertahun tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali menjadikan
orang tua teramat sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan pola asuh
open bar, atau mo apa aja boleh atau dituruti.
Seperti
Radja Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini
sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang
dididik dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal
toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun
sayangnya kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola asuh
seperti ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala
kemauannya. Jika kita benar sayang, maka kita harus mengajarinya
tentang nilai baik dan buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan
yang nggak. Jika tidak, rasa sayang kita akan membuat membuatnya jadi
anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam bahasa awam sering
disebut anak manja.
21. Terlalu Banyak Larangan
Ini adalah
kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang
berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya
kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang “Perfectionist”. Orang
tua jenis ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita
inginkan secara SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai
dengan keinginan kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu;
dilarang melakukan ini dan itu.
Pada saatnya
anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan
perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri (jika anak kita tipe
sensitive) atau dengan perlawanan tersembunyi (jika anak kita tipe
keras) atau dengan perang terbuka (jika anak kita tipe ekspresif keras).
Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis kita, Berilah izin
kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan positif.
Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan memahami
sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai antara
anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta
pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk memberikan
batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus
sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu
Papa/Mama.
22. Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini adalah
gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan
menjadi pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong pembicaraan pada
saat anak kita sedang memberi penjelasan, dan segera menentukan
kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal
kesimpulan kita belum tentu benar, dan bahan seandainya benar, cara
seperti ini akan menyakitkan hati anak kita.
Seperti
contoh anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat
dan hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan
ungkapan, “Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu,
kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”.
Jika kita
emlakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah
orang tua ST 001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami
keadaan dan menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara
lagi, dan akibat selanjutnya sang anak akan benar benar melakukan hal
hal yang kita tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita
lagi, dan pada tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat kita sedang
berbicara padanya. Pernahkah anda mengalami hal ini?
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak
seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya
disimpulkan oleh orang lain.
Dengarkan,
dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan
antusias. Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak
kita selesai dengan ceritanya. Bila anak sudah membuka pertanyaan,
“menurut Papa/Mama bagaimana?” artinya ia sudah siap untuk mendengarkan
penuturan atau komentar kita.
0 komentar:
Post a Comment