ISLAM DAN DEMOKRASI
Share
Friday, 26 March 2010 at 11:33
Islam telah dideskreditkan dalam 2 hal. Pertama, ketika ia dibandingan dengan demokrasi. Dan kedua, ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi.
Padahal membandingkan antara keduanya merupakan hal yang salah, seperti halnya menganggapnya saling bertentangan juga salah. Dari segi metode, perbandingan antara kedua hal tsb tidak bisa dibenarkan, karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalah (interaksi antar) manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerjasama antar anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif. Ini semua adalah masalah yang perlu klarifikasi dan penjelasan. Dimanakah demokrasi dan Islam bertemu? Dimana pula keduanya berbeda? Di sini akan saya sadurkan ulasan dari Dr. Muhammad Dhiya'uddin Ar-rais, seorang dosen ilmu sejarah di universitas Darul Ulum, Mesir. Islam dan demokrasi tidak hanya terdapat sisi-sisi kesamaan di bidang politik, bahkan lebih dari itu, untusur-unsur yang terkandung dalam demokrasi dan keistimewaan-keistimewaannya juga terkandung dalam Islam.
Jika yang dimaksud dengan demokrasi - sebagaimana didefinisikan oleh Abraham Lincoln - adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, pengertian ini juga terdapat dalam sistem negara Islam, dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif. Jika yang dimaksud dengan demokrasi itu adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu, misalnya asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikirdan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, dan seterusnya; atau memberikan jaminan hak-ak tertentu, seperti hak untuk hidup, bebas, dan mendapatkan pekerjaan, dan hak-hak lainnya. Hak-hak tersebut -- semuanya-dijamin dalam Islam. Namun harus diperhatikan, bahwa pandangan Islam terhadap hak-hak tsb, secara alami terkadang bisa beragam: Terkadang Islam menganggap hak-hak tsb sebagai hak Alloh dan terkadang menganggapnya sebagai hak-hak bersama antara Alloh swt. Dan hamba-hambaNya. Bahkan terkadang ia menganggapnya sebagai nikmat dan bukan hak, dan Islam menetapkan bahwa hak-hak itu merupakan dasar dari segala sesuatu, atau sebagai undang-undang yang diletakkan Alloh swt. Karena adanya eksistensi atau fitrah manusia.
Tetapi, anggapan yang berbeda tsb tidak memberikan pengaruh dalam pandangan terhadap karakter keistemewaan-keistimewaan tsb. Dan nilainya adalah satu, yaitu bahwa manusia -baik dalam sistem demokrasi maupun Islam - dijamin dalam mendapatkan hak-haknya tsb. Apabila demokrasi diartikan sebagai apa yang didefinisikan dahwa sistemnya, diikuti dengan realisasi atas pemisahan antara kekuasaan-kekuasaan. Ini juga ada dalam sistem Islam. Dlm kekuasaan legislatif- yang merupakan kekuasaan terpenting dalam sistem demokrasi apa pun diberikan penuh kpada rakyat sbg suatu kesatuan, dan terpisah dari kekuasaan imam atau presiden. Pembuatan undang-undang atau hukum didasarkan pada Al Quran dan Hadist atau Ijma, atau Ijtihad. Dengan demikian, pembuatan undang-undang atau hukum tersebut terpisah dari Imam, bahkan dia berkedudukan lebih tinggi daripada imam/pemimpin. Sedangkan Imam harus mentaatinya dan terikat olehnya. Pada hakikatnya, Imamah hanyalah kepemimpinan eksekutif. Otoritasnya memiliki independensi tersendiri, karena pengambilan keputusan tidak boleh berdasarkan pada pendapat penguasa atau presiden, tetapi harus didasarkan pada hukum-hukum syariat atau perintah Alloh SWT.
Pemikiran Ijma yang merupakan keistimewaandari syariat islam, mempertegas ucapan bahwa ijma memberikan tempat khusus bagi umat dan keinginannya dalam sistem Islam, yang lebih tinggi dari apa yang didapatnya dari segala macam sistem demokrasi. Jadi, kaum muslimin telah menetapkan- yaitu sblm munculnya Rousseau dan yang lainnya yang berbicara tentang "keinginan umum"- bahwa keinginan umat (rakyat) terlindungi dan keinginan tersebut merupakan kehendak Alloh SWT, dan dijadikan sumber bagi pembuatan undang-undang, meskipun finalnya harus bersandar pada kedua sumber, yaitu Al Quran dan Hadis. Kemudian dalam praktiknya, keinginan ini diambil melalui ijma para mujtahid dari kalangan ulama.
Dlm pembicaraan perbedaan antara Islam dan demokrasi , Dr. Dhiya'uddin Ar Rais menerangkannya dalam tiga hal:
1. "Bangsa" atau "umat" dalam demokrasi modern adalah sebagaimana yang sudah populer didunia Barat, yaitu bangsa yang terbatasi oleh letak geografis, yang hidup dalam satu iklim, di mana individu-individu di dalamnya terikat oleh ikatan darah, jenis, bahasa, dan kebiasaan-kebiasaan yang telah mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi dengan pemikiran "Nasionalisme" atau rasialisme, yang digiing oleh tendensi fanatisme. Tidak demikian halnya dengan Islam. Menurut Islam "umat" tidak harus terikat oleh suatu tempat, darah, atau bahasa. Ikatan-ikatan hanya merupakan rekayasa semata, atau hanya merupakan masalah sekunder. Tetapi ikatan yang sebenarnya hanya satu yaitu akidah atau terletak pada pemikiran dan perasaan. Dengan demikian pandangan Islam amatlah manusiawi dan bersifat internasional. Meskipun hal ini tidak melarang dalam wilayah yang umum tersebut ada daerah-daerah khusus, regional atau nasional, untuk melakukan penertiban atau merealisasikan tujuan-tujuan nasional atau regional, yang tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan yang bersifat umum. Jika terdapat ikatan kesatuan nasional disamping yang prinsipil yaitu kesatuan akidah, maka hal ini lebih mempertegas keberadaan umat dan lahirnya negara.
2. Bahwa tujuan -tujuan demokrasi modern Barat- atau segala macam demokrasi yang ada pada setiap masa- adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi atau material. Jadi, demokrasi hanya ditujukan untuk merealisasikan kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa semata, yaitu pemenuhan atas semua kebutuhan dalam kehidupan dunia, yang ditempuh melalui pengembangan kekayaan, peningkatan gaji, misalnya. Lain halnya dengan tujuan-tujuan Islam atau demokrasi Islam, selain mencakup terhadap pemenuhan kebutuhan duniawi, demokrasi islam juga mempunyai tujuan-tujuan yang bersifat spiritual, bahkan lebih utama dan sangat fundamental. Kenyataan yang bersifat duniawi harus dicerminkan kepada kemaslahatan di akhirat. Jadi, negara Islam harus mendasari semua aktifitasnya pada akhirat, dengan dasar bahwa akhirat merupakan tujuan final.
3. Kekuasaan umat menurut demokrasi barat merupakan suatu yang mutlak. Jadi umat adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Umat membuat dan membatalkan undang-undang. Meskipun ketentuan tersebut bertentangan dengan norma susila atau kemaslahatan umat secara umum. Jadi, misalnya, demokrasi modern dapat mengumumkan perang hanya untuk kepentingan suatu bangsa atau bangsa yang lain, atau untuk menguasai sebuah pasar, merebut suatu tempat atau sumber minyak. Tetapi dalam Islam kekuasaan umat tidak bersifat mutlak seperti itu, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat agama yang dipeluk oleh setiap individu dari umat tersebut. Syariat inilah yang terkandung dalam Al Quran dan hadis.
Dr Dhiya'uddin Ar Rais dengan penjelasannya ini mengatakan bahwa Islam tidak dapat disamakan dengan sistem-sistem lain yang populer dalam peta perpolitikan. Menurut Islam, kekuasaan tertinggi tidak berada ditangan penguasa, karena Islam tidak sama dengan faham otokrasi. Tidak juga ditangan tokoh-tokoh agamawan karena Islam tidak sama dengan "teokrasi". Tidak juga hanya ditangan undang-undang, karena Islam tidak sama dengan faham "nomokrasi". Bukan juga ditangan umat saja, karena Islam bukan faham "demokrasi" dengan pengertian yang sangat sempit seperti itu. Jawaban yang benar adalah bahwa kekuasaan tertinggi dalam Islam sangat konkret, dimana dalam kekuasaan tersebut berpadu dua hal; umat dan undang-undang atau syariat Islam. Jadi, umat dan syariat memegang kekuasaan penuh dalam negara Islam.
Dengan demikian, negara Islam (dalam gambaran diatas) merupakan satu-satunya sistem, yang khusus hanya ada pada Islam. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa sistem Islam sama dengan sistem lain yang populer didunia modern. Oleh karena itu sistem Islam ini perlu diberikan istilah tersendiri dengan nama yang mencerminkan jati dirinya. Selama nama itu tidak diberikan , maka sekarang cukup disebut dengan sebutan yang bersifat menyeluruh, yaitu "sistem Islam".
Kita mendapatkan seorang faqih kenamaan, Abul A'la Al Maududi, pernah berbicara tentang demokrasi. Dia mengatakan: Demokrasi sama sekali bukan dari Islam. Dengan demikian tidak dibenarkan menyebut kata demokrasi dalam sistem negara Islam. Abul A'la Al Maududi menambahkan bahwa istilah "pemerintahan yang berdasarkan ketuhanan" atau disebut juga "teokrasi"lebih tepat sebagai sebutan sistem Islam. Namun dengan berhati-hati Maududi mengatakan , "teokrasi yang ada di Eropa sangat berbeda dengan yang ada dalam Islam secara keseluruhan. Di Eropa teokrasi merupakan kelas khusus untuk para ruhaniawan ( menurut mereka sebagai wakil Tuhan yang telah diberikan kekuasaan oleh Nya), yang membuat undang-undang sesuai dengan kehendak dirinya sendiri sesuai dengan hawa nafsu dan tujuan-tujuan mereka. Sedangkan teokrasi yang dibawa Islam, kekuasaan tidak berada pada suatu kelas yang terdiri dari para ruhaniawan atau pemuka-pemuka agama. Tetapi dia berada pada kaum muslimin secara keseluruhan, mereka inilah yang mengatur urusan mereka serta menjalankannya, sesuai dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Bertolak dari hal itu, dia menyebut pemerintahan Islam dengan sebutan "teokrasi demokrasi" Atau "pemerintahan yang berdasarkan ketuhanan yang bersifat demokratis". Karena di dalamnya kaum Muslimin diberikan otoritas, dan kekuasaan eksekutif tidak boleh diduduki kecuali melalui pilihan kaum Muslim. Demikian juga segala hal yang hukum/ketentuannya tidak jelas, diputuskan melalui ijma kaum Muslim. Terakhir, setelah Maududi menetapkan pentingnya umat menaati syariat Alloh SWT, dia mengatakan, "Dari sudut pandang ini, pemerintah Islam terhitung sebagai pemerintahan yang demokratis. Namun saat adanya nash-nash syariat yang sudah pasti, tidak seorangpun dari kaum Muslim, para penguasa, ulama-ulama untuk mengubahnya sedikitpun. Dari sudut ini pemerintah Islam dapat disebut sebagai "teokrasi".
Lantas, kenapa permasalahan Islam dan Demokrasi ini perlu diuraikan di sini. Karena, sebagaimana pada kalimat pembuka, Islam lebih sering dipojokkan sebagai suatu sistem yang sama sekali tidak demokratis. Khususnya apa bila dikaitkan dengan sikap kaum muslim saat ini. Sikap kaum Muslim - bukan Islam - menjadi sentral penting yang dipenuhi dengan kerancuan karena mereka memikul beban sejarah yang sangat berat. Dan masa lalu ini sangat berperan besar dalam melahirkan berbagai keraguan dan kebimbangan, bahkan mungkin penolakan dan tuduhan juga. Sebagian orang tidak memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerja sama politik, pluralisme, dan lain sebagainya. Melainkan memandangnya sebagai rumusan bagi konsep Barat. John L. Esposito dan Prof. James Piscatoris, menyebutkan, bahwa sebagian jamaah Islam mencemaskan model demokrasi Barat serta sistem pemerintahan yang dimasukkan Barat ke negara mereka. Sebenarnya, reaksi negatif tsb merupakan ungkapan dari penolakan kaum Muslim secara menyeluruh terhadap kolonialisme Eropa, yang berakibat kepada penolakan demokrasi ala Barat
secara menyeluruh. Sebagaimana telah diketahui, kolonialisme telah cukup sukses dalam meluluh lantakkan sendi-sendi peradaban umat Islam. Telah cukup sukses dalam membuat umat Islam tercerabut dari akar budayanya.
~Abu Hayna~
Share
Friday, 26 March 2010 at 11:33
Islam telah dideskreditkan dalam 2 hal. Pertama, ketika ia dibandingan dengan demokrasi. Dan kedua, ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi.
Padahal membandingkan antara keduanya merupakan hal yang salah, seperti halnya menganggapnya saling bertentangan juga salah. Dari segi metode, perbandingan antara kedua hal tsb tidak bisa dibenarkan, karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalah (interaksi antar) manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerjasama antar anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif. Ini semua adalah masalah yang perlu klarifikasi dan penjelasan. Dimanakah demokrasi dan Islam bertemu? Dimana pula keduanya berbeda? Di sini akan saya sadurkan ulasan dari Dr. Muhammad Dhiya'uddin Ar-rais, seorang dosen ilmu sejarah di universitas Darul Ulum, Mesir. Islam dan demokrasi tidak hanya terdapat sisi-sisi kesamaan di bidang politik, bahkan lebih dari itu, untusur-unsur yang terkandung dalam demokrasi dan keistimewaan-keistimewaannya juga terkandung dalam Islam.
Jika yang dimaksud dengan demokrasi - sebagaimana didefinisikan oleh Abraham Lincoln - adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, pengertian ini juga terdapat dalam sistem negara Islam, dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif. Jika yang dimaksud dengan demokrasi itu adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu, misalnya asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikirdan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, dan seterusnya; atau memberikan jaminan hak-ak tertentu, seperti hak untuk hidup, bebas, dan mendapatkan pekerjaan, dan hak-hak lainnya. Hak-hak tersebut -- semuanya-dijamin dalam Islam. Namun harus diperhatikan, bahwa pandangan Islam terhadap hak-hak tsb, secara alami terkadang bisa beragam: Terkadang Islam menganggap hak-hak tsb sebagai hak Alloh dan terkadang menganggapnya sebagai hak-hak bersama antara Alloh swt. Dan hamba-hambaNya. Bahkan terkadang ia menganggapnya sebagai nikmat dan bukan hak, dan Islam menetapkan bahwa hak-hak itu merupakan dasar dari segala sesuatu, atau sebagai undang-undang yang diletakkan Alloh swt. Karena adanya eksistensi atau fitrah manusia.
Tetapi, anggapan yang berbeda tsb tidak memberikan pengaruh dalam pandangan terhadap karakter keistemewaan-keistimewaan tsb. Dan nilainya adalah satu, yaitu bahwa manusia -baik dalam sistem demokrasi maupun Islam - dijamin dalam mendapatkan hak-haknya tsb. Apabila demokrasi diartikan sebagai apa yang didefinisikan dahwa sistemnya, diikuti dengan realisasi atas pemisahan antara kekuasaan-kekuasaan. Ini juga ada dalam sistem Islam. Dlm kekuasaan legislatif- yang merupakan kekuasaan terpenting dalam sistem demokrasi apa pun diberikan penuh kpada rakyat sbg suatu kesatuan, dan terpisah dari kekuasaan imam atau presiden. Pembuatan undang-undang atau hukum didasarkan pada Al Quran dan Hadist atau Ijma, atau Ijtihad. Dengan demikian, pembuatan undang-undang atau hukum tersebut terpisah dari Imam, bahkan dia berkedudukan lebih tinggi daripada imam/pemimpin. Sedangkan Imam harus mentaatinya dan terikat olehnya. Pada hakikatnya, Imamah hanyalah kepemimpinan eksekutif. Otoritasnya memiliki independensi tersendiri, karena pengambilan keputusan tidak boleh berdasarkan pada pendapat penguasa atau presiden, tetapi harus didasarkan pada hukum-hukum syariat atau perintah Alloh SWT.
Pemikiran Ijma yang merupakan keistimewaandari syariat islam, mempertegas ucapan bahwa ijma memberikan tempat khusus bagi umat dan keinginannya dalam sistem Islam, yang lebih tinggi dari apa yang didapatnya dari segala macam sistem demokrasi. Jadi, kaum muslimin telah menetapkan- yaitu sblm munculnya Rousseau dan yang lainnya yang berbicara tentang "keinginan umum"- bahwa keinginan umat (rakyat) terlindungi dan keinginan tersebut merupakan kehendak Alloh SWT, dan dijadikan sumber bagi pembuatan undang-undang, meskipun finalnya harus bersandar pada kedua sumber, yaitu Al Quran dan Hadis. Kemudian dalam praktiknya, keinginan ini diambil melalui ijma para mujtahid dari kalangan ulama.
Dlm pembicaraan perbedaan antara Islam dan demokrasi , Dr. Dhiya'uddin Ar Rais menerangkannya dalam tiga hal:
1. "Bangsa" atau "umat" dalam demokrasi modern adalah sebagaimana yang sudah populer didunia Barat, yaitu bangsa yang terbatasi oleh letak geografis, yang hidup dalam satu iklim, di mana individu-individu di dalamnya terikat oleh ikatan darah, jenis, bahasa, dan kebiasaan-kebiasaan yang telah mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi dengan pemikiran "Nasionalisme" atau rasialisme, yang digiing oleh tendensi fanatisme. Tidak demikian halnya dengan Islam. Menurut Islam "umat" tidak harus terikat oleh suatu tempat, darah, atau bahasa. Ikatan-ikatan hanya merupakan rekayasa semata, atau hanya merupakan masalah sekunder. Tetapi ikatan yang sebenarnya hanya satu yaitu akidah atau terletak pada pemikiran dan perasaan. Dengan demikian pandangan Islam amatlah manusiawi dan bersifat internasional. Meskipun hal ini tidak melarang dalam wilayah yang umum tersebut ada daerah-daerah khusus, regional atau nasional, untuk melakukan penertiban atau merealisasikan tujuan-tujuan nasional atau regional, yang tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan yang bersifat umum. Jika terdapat ikatan kesatuan nasional disamping yang prinsipil yaitu kesatuan akidah, maka hal ini lebih mempertegas keberadaan umat dan lahirnya negara.
2. Bahwa tujuan -tujuan demokrasi modern Barat- atau segala macam demokrasi yang ada pada setiap masa- adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi atau material. Jadi, demokrasi hanya ditujukan untuk merealisasikan kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa semata, yaitu pemenuhan atas semua kebutuhan dalam kehidupan dunia, yang ditempuh melalui pengembangan kekayaan, peningkatan gaji, misalnya. Lain halnya dengan tujuan-tujuan Islam atau demokrasi Islam, selain mencakup terhadap pemenuhan kebutuhan duniawi, demokrasi islam juga mempunyai tujuan-tujuan yang bersifat spiritual, bahkan lebih utama dan sangat fundamental. Kenyataan yang bersifat duniawi harus dicerminkan kepada kemaslahatan di akhirat. Jadi, negara Islam harus mendasari semua aktifitasnya pada akhirat, dengan dasar bahwa akhirat merupakan tujuan final.
3. Kekuasaan umat menurut demokrasi barat merupakan suatu yang mutlak. Jadi umat adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Umat membuat dan membatalkan undang-undang. Meskipun ketentuan tersebut bertentangan dengan norma susila atau kemaslahatan umat secara umum. Jadi, misalnya, demokrasi modern dapat mengumumkan perang hanya untuk kepentingan suatu bangsa atau bangsa yang lain, atau untuk menguasai sebuah pasar, merebut suatu tempat atau sumber minyak. Tetapi dalam Islam kekuasaan umat tidak bersifat mutlak seperti itu, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat agama yang dipeluk oleh setiap individu dari umat tersebut. Syariat inilah yang terkandung dalam Al Quran dan hadis.
Dr Dhiya'uddin Ar Rais dengan penjelasannya ini mengatakan bahwa Islam tidak dapat disamakan dengan sistem-sistem lain yang populer dalam peta perpolitikan. Menurut Islam, kekuasaan tertinggi tidak berada ditangan penguasa, karena Islam tidak sama dengan faham otokrasi. Tidak juga ditangan tokoh-tokoh agamawan karena Islam tidak sama dengan "teokrasi". Tidak juga hanya ditangan undang-undang, karena Islam tidak sama dengan faham "nomokrasi". Bukan juga ditangan umat saja, karena Islam bukan faham "demokrasi" dengan pengertian yang sangat sempit seperti itu. Jawaban yang benar adalah bahwa kekuasaan tertinggi dalam Islam sangat konkret, dimana dalam kekuasaan tersebut berpadu dua hal; umat dan undang-undang atau syariat Islam. Jadi, umat dan syariat memegang kekuasaan penuh dalam negara Islam.
Dengan demikian, negara Islam (dalam gambaran diatas) merupakan satu-satunya sistem, yang khusus hanya ada pada Islam. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa sistem Islam sama dengan sistem lain yang populer didunia modern. Oleh karena itu sistem Islam ini perlu diberikan istilah tersendiri dengan nama yang mencerminkan jati dirinya. Selama nama itu tidak diberikan , maka sekarang cukup disebut dengan sebutan yang bersifat menyeluruh, yaitu "sistem Islam".
Kita mendapatkan seorang faqih kenamaan, Abul A'la Al Maududi, pernah berbicara tentang demokrasi. Dia mengatakan: Demokrasi sama sekali bukan dari Islam. Dengan demikian tidak dibenarkan menyebut kata demokrasi dalam sistem negara Islam. Abul A'la Al Maududi menambahkan bahwa istilah "pemerintahan yang berdasarkan ketuhanan" atau disebut juga "teokrasi"lebih tepat sebagai sebutan sistem Islam. Namun dengan berhati-hati Maududi mengatakan , "teokrasi yang ada di Eropa sangat berbeda dengan yang ada dalam Islam secara keseluruhan. Di Eropa teokrasi merupakan kelas khusus untuk para ruhaniawan ( menurut mereka sebagai wakil Tuhan yang telah diberikan kekuasaan oleh Nya), yang membuat undang-undang sesuai dengan kehendak dirinya sendiri sesuai dengan hawa nafsu dan tujuan-tujuan mereka. Sedangkan teokrasi yang dibawa Islam, kekuasaan tidak berada pada suatu kelas yang terdiri dari para ruhaniawan atau pemuka-pemuka agama. Tetapi dia berada pada kaum muslimin secara keseluruhan, mereka inilah yang mengatur urusan mereka serta menjalankannya, sesuai dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Bertolak dari hal itu, dia menyebut pemerintahan Islam dengan sebutan "teokrasi demokrasi" Atau "pemerintahan yang berdasarkan ketuhanan yang bersifat demokratis". Karena di dalamnya kaum Muslimin diberikan otoritas, dan kekuasaan eksekutif tidak boleh diduduki kecuali melalui pilihan kaum Muslim. Demikian juga segala hal yang hukum/ketentuannya tidak jelas, diputuskan melalui ijma kaum Muslim. Terakhir, setelah Maududi menetapkan pentingnya umat menaati syariat Alloh SWT, dia mengatakan, "Dari sudut pandang ini, pemerintah Islam terhitung sebagai pemerintahan yang demokratis. Namun saat adanya nash-nash syariat yang sudah pasti, tidak seorangpun dari kaum Muslim, para penguasa, ulama-ulama untuk mengubahnya sedikitpun. Dari sudut ini pemerintah Islam dapat disebut sebagai "teokrasi".
Lantas, kenapa permasalahan Islam dan Demokrasi ini perlu diuraikan di sini. Karena, sebagaimana pada kalimat pembuka, Islam lebih sering dipojokkan sebagai suatu sistem yang sama sekali tidak demokratis. Khususnya apa bila dikaitkan dengan sikap kaum muslim saat ini. Sikap kaum Muslim - bukan Islam - menjadi sentral penting yang dipenuhi dengan kerancuan karena mereka memikul beban sejarah yang sangat berat. Dan masa lalu ini sangat berperan besar dalam melahirkan berbagai keraguan dan kebimbangan, bahkan mungkin penolakan dan tuduhan juga. Sebagian orang tidak memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerja sama politik, pluralisme, dan lain sebagainya. Melainkan memandangnya sebagai rumusan bagi konsep Barat. John L. Esposito dan Prof. James Piscatoris, menyebutkan, bahwa sebagian jamaah Islam mencemaskan model demokrasi Barat serta sistem pemerintahan yang dimasukkan Barat ke negara mereka. Sebenarnya, reaksi negatif tsb merupakan ungkapan dari penolakan kaum Muslim secara menyeluruh terhadap kolonialisme Eropa, yang berakibat kepada penolakan demokrasi ala Barat
secara menyeluruh. Sebagaimana telah diketahui, kolonialisme telah cukup sukses dalam meluluh lantakkan sendi-sendi peradaban umat Islam. Telah cukup sukses dalam membuat umat Islam tercerabut dari akar budayanya.
~Abu Hayna~