Wednesday 27 January 2016

hukum fiqh jual beli online (dropship)

Assalamu'alaikum
Ustadzah Herlini, bagaimana hukum jual beli secara online? Pasalnya, pembeli mengetahui barang yang akan dibeli hanya melalui foto. Lalu, ada pula jual beli dengan sistem dropshipping, yaitu A menawarkan barang milik B via online atas izin yang bersangkutan, kemudian ada pembeli C yang membayar ke A, lalu A membayar ke B. Setelah itu, B langsung mengirim barang yang dimaksud ke C. Bagaimana hukum bertransaksi seperti itu, Ustadzah?
Wassalamu'alaikum
 
IFA, MADIUN
Wassalamu'alaikum


 
            Jual beli online memang sudah menjadi tren seiring kemajuan teknologi informasi di zaman sekarang. Termasuk di dalamnya, jual beli secara dropshipping. Dalam kaidah fiqih, disebutkan bahwa pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sebelum membahas hukumnya, maka kita pahami dulu apa yang dimaksud dropshipping.
            Dropshipping adalah praktik jual beli (biasanya melalui internet) antara tiga komponen yang terkait, yakni: grosir/supplier yang menyediakan produk dagangannya; pengecer/reseller/dropshipper yang menjual dan memasarkan produk dagangan dari supplier dengan memajang katalog atau foto barang yang akan dijual; dan, pembeli yang akan membeli produk dagangan melalui pengecer.
            Pembeli memesan barang kepada pengecer yang tidak menyimpan barang dalam bentuk stok, dan mentransfer uang pembeliannya kepada pengecer. Setelah itu pengecer memesan barang pesanan tersebut kepada grosir dengan mengambil selisih harga sebagai keuntungan untuknya.
            Pihak grosir segera mengirim barang pesanan kepada si pembeli setelah menerima transferan dana dari si pengecer. Karena pengecer sudah mendapatkan izin dari grosir (sudah bekerja sama), maka dalam sistem jual beli tersebut bisa termasuk transaksi dalam bentuk salam atau kategori wakalah.
 
TRANSAKSI SALAM
 
            Transaksi dalam bentuk salam (dinamakan juga as-salaf) adalah jual beli dengan pemesanan suatu barang yang memiliki kriteria yang telah disepakati dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Artinya, pembeli memesan barang dengan kriteria yang telah disepakati bersama dengan membayarnya secara tunai (barangnya belum ada), kemudian penjual menyerahkan barang tersebut kepada pembeli di kemudian hari sesuai dengan waktu yang telah disepakati.
            Sayyid Sabiq dalam “Fiqih Sunnah” menjelaskan bahwa jual beli secara salam diperbolehkan berdasarkan kaidah syariat yang telah disepakati. Jual beli seperti ini tidaklah menyalahi qiyas, sebagaimana diperbolehkan melakukan pembayaran tertunda, begitu pula diperbolehkan menyerahkan barang dengan tertunda pula.
            Dalilnya berdasarkan Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 282, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” Abdullah bin Abbas ra menjadikan ayat ini sebagai dasar bolehnya jual beli Salam. Beliau berkata, “Saya bersaksi bahwa jual beli as-salaf (salam), yang terjamin hingga tempo yang ditentukan, telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Al-Qur'an.” Ijma' ulama juga sepakat membolehkan jual beli salam ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ibnu Al-Munzir dalam “Al-Ijma'” dan Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni”.
 
TRANSAKSI WAKALAH
 
            Jual beli secara dropshipping bisa juga termasuk transaksi dalam bentuk wakalah, maksudnya adalah mewakilkan penjualan suatu barang tanpa menentukan harga dan sistem pembayaran mutlak/bebas, atau dengan ketentuan harga yang telah disepakati bersama termasuk keuntungannya. Artinya, grosir adalah pemilik barang yang mewakilkan kepada si pengecer untuk menjualkan barang-barangnya.
            Keuntungan untuk si pengecer bisa ditentukan menurut perjanjian sesuai atas kesepakatan bersama, apakah ditentukan dalam jumlah tertentu atau berdasarkan persentase. Sabda Rasulullah saw, “Orang-orang Muslim tergantung pada syarat (perjanjian) mereka sendiri,” (HR Muslim).
           
            Secara umum, dalam hukum jual beli, bila pihak pengecer belum memiliki barang yang akan dijual tersebut, maka tergolong jual beli yang diharamkan. Sebagaimana riwayat Hakim bin Hizam yang berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?” Kemudian Nabi bersabda, “Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki,” (HR Abu Daud, dinilai sahih oleh Al-Albani). Dalam hadits ini, Rasulullah saw melarang menjual barang yang tidak dimiliki oleh si penjual.
            Oleh karena itu, perlu diperhatikan syarat kehalalan transaksi jual beli ini. Yaitu, adanya saling ridha tanpa paksaan antara penjual dengan pembeli (QS An-Nisaa [4]: 29), adanya kejelasan akad atau perjanjian antara pihak grosir dengan pengecer terkait teknis penjualan dan keuntungan yang didapat, produk yang diperjualbelikan merupakan barang suci dan bermanfaat (bukan barang haram), dan penjual tidak dibolehkan menyembunyikan cacat/aib suatu produk, sebagaimana sabda Nabi saw, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang Muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama Muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya,” (HR Ibnu Majah, Ahmad, Hakim dan Baihaqi).          
            Ketika pesanan tidak sesuai dengan kriteria yang telah disepakati, maka si pembeli berhak memulangkan atau menukar kembali barang yang sudah dipesan tersebut tanpa merugikan pihak pembeli. Wallahu a'lam bishshawwab.

http://www.ummi-online.com/hukum-fiqih-jual-beli-dropshipping.html

0 komentar:

Post a Comment