Ketika di Syam (Suriah, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah, Umar bin Khaththab yang ketika itu bermaksud berkunjung kesana membatalkan rencana beliau. Dan ketika itu, tampillah seseorang bertanya, “Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?” Umar ra menjawab, ”Saya lari/menghindar dari takdir Tuhan ke takdir-Nya yang lain.”
Kutipan diatas singkat, sederhana, tapi bikin saya termenung tak sudah sudah : )
Sumber tulisan lengkapnya yang ditulis oleh Prof Quraish Shihab dapat dibaca disini.
Tanya:
Pak Quraish, bagaimana memahami takdir, nasib, suratan hidup atau apapun namanya sehubungan dengan ketentuan Tuhan, keinginan manusia, dan kenyataan yang terjadi. Jika Allah menentukan 3 hal jodoh, maut dan rezeki itu pasti maka bagaimana manusia memahami dan menjalaninya? Mohon penjelasan. Terima kasih. wassalam
(ulvamuslim@yahoo.com)
Jawab:
Kata ‘takdir’ terambil dari kata ‘qaddara’ yang antara lain, berarti memberi kadar atau ukuran. Jika Anda berkata, “Allah menakdirkan”, itu berarti “Allah memberikan kadar atau ukuran atau batas tertentu dalam diri, sifat, dan kemampuan makhluk-Nya.”
Segala sesuatu, kecil atau besar, telah ditetapkan oleh Allah takdir baginya. Bacalah, (Allah) yang menciptakan segala sesuatu lalu Dia menetapkan atasnya qadr/ketetapan dengan sesempurna-sempurnanya (QS al-Furqan [25]: 2). Lalu, matahari beredar di tempat peredarannya, demikian itulah takdir/ukuran yang ditentukan oleh (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (QS Yasin [36]: 38).
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dari sisi kejadiannya, dalam kadar/ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, itulah yang dinamai takdir. Tidak ada sesuatu tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan.
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu takdir/ukuran batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dia tidak mampu melampauinya, kecuali jika dia menggunakan akalnya untuk menciptakan suatu alat.
Namun, akalnya pun mempunyai ukuran/batas yang tidak mampu dilampaui. Manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu.
Hanya saja, karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan memilih—tidak sebagaimana matahari dan bulan, misalnya—maka kita dapat memilih yang mana di antara takdir/ukuran-ukuran yang ditetapkan Tuhan itu yang sesuai dengan kita. Pilihan adalah hak kita.
Ketika di Syam (Suriah, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah, Umar bin Khaththab yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau. Dan ketika itu, tampillah seseorang bertanya, “Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?” Umar ra menjawab, “Saya lari/menghindar dari takdir Tuhan ke takdir-Nya yang lain.”
Berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Bila seseorang tidak menghindar darinya, dia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir. Akan tetapi, bila dia menghindar dan luput dari marabahaya, maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan untuk memilah dan memilih?
Surga atau neraka adalah akibat dari pilihan manusia masing-masing.
Bukankah Allah telah menegaskan, Kami telah memberikan petunjuk kepadanya (manusia) dua jalan (baik dan buruk) (QS al-Balad [90]: 10) dan Dia juga menyatakan, Katakanlah, “Kebenaran bersumber dari Tuhanmu, maka siapa yang ingin (beriman) silakan beriman, dan siapa yang ingin (kufur) silakan kufur.” (QS al-Kahfi [18]: 29). Pilihan dan dampak-dampaknya itulah yang dinilai Tuhan dan atas dasarnya Allah menetapkan balasan dan ganjaran.
Allah mengetahui segala sesuatu, sebelum, saat, dan sesuatu terjadinya. Akan tetapi, pengetahuan ini, tidak ada kaitannya dengan pilihan manusia. Jika seorang siswa yang diketahui malas sehingga guru mengetahui bahwa siswa itu takkan lulus ujian, apakah pengetahuan sang guru yang menyebabkan dia tak lulus? Tentu saja bukan. Nah, analogikanlah ini dengan pengetahuan Allah yang mencakup segala sesuatu itu. Demikian, wallahu a‘lam.
0 komentar:
Post a Comment