Thursday, 4 February 2016

pendidik diktator

Renungan Pendidikan #81

Nampaknya banyak Orangtua yang ketularan gaya penguasa dalam mendidik anak. Seringkali pertanyaan dan pernyataan mereka tentang pengasuhan atau pendidikan anak, selalu dimulai dengan kata, "bagaimana mengatasi?", "bagaimana menghilangkan?", "bagaimana mencetak atau membentuk?", "bagaimana mengendalikan", "bagaimana mengubah?" , dstnya.


image







Bahasa bahasa negatif penuh kecurigaan seperti ini sesungguhnya bahasa yang mencerminkan ketidakyakinan akan adanya fitrah manusia. Apa bedanya kita dengan John Locke, seorang filsuf atheis yang mengatakan bahwa anak adalah kertas kosong, atau filsuf lain yang menyebut anak terlahir bodoh dsbnya.

Bahasa yang sama juga sering digunakan oleh pemerintah yang merasa dirinya penguasa, misalnya yang sering kita dengar dengan kata kata "bagaimana mencetak generasi kompetitif", "bagaimana merekayasa pendidikan", "bagaimana mengendalikan" dstnya.

Bahasa bahasa seperti ini menggambarkan penuturnya masih menggunakan kacamata penjajah atau kolonial yang merasa lebih hebat sementara yang lain bodoh terbelakang tanpa kearifan. Penjajahlah yang berhak menentukan segalanya. Secara sadar atau tidak, ini narasi yang memandulkan dan sesungguhnya menolak kebebasan fitrah manusia.

Bahasa begini melahirkan narasi penjajahan peradaban, dimulai tentu saja dari bangku persekolahan yang dibuat oleh pemerintah yang merekayasa sistem termasuk sistem persekolahan terpusat, yang seolah kekuasaan adalah otoritas penentu takdir manusia yang Maha Benar.

Maka lahirlah kurikulum yang Maha Benar, Sekolah Formal yang Maha Benar, dan kemudian Kepala Sekolah yang Maha benar, dan yang parah adalah Guru yang Maha Benar. Lalu muncul Siswa Siswa senior yang Maha Benar yang boleh membully juniornya, lalu terciptalah sistem tertutup kekuasaan. Yang boleh menikmati kemerdekaan (baca: kekuasaan) hanyalah yang masuk dalam lingkaran elite yang Maha Benar.

Barangkali kita sering melihat bagaimana anak anak muda pelaku pembunuhan, hanya menangis ketika ditangkap, bukan karena menyesal. Mereka memang terbudayakan untuk selalu merasa benar. Tangisan mereka bukan penyesalan tetapi karena rasa sakit berupa hukuman kini menimpa mereka.

Lulusan sistem persekolahan begini jelas melahirkan pemimpin, guru dan orangtua yang arogan dan elitis.

Di sisi lain sesungguhnya, cara berfikir elitis dan arogan ini melahirkan ketakutan kolektif yang parah akan ancaman kemandirian institusi yang bukan formal.

Misalnya ada kekhawatiran dari pemerintah bahwa Home Education semakin meluas dan mematikan persekolahan formal. Agak aneh sebenarnya, karena Home Education atau pendidikan berbasis rumah ini adalah pendidikan informal yang dijamin UU.

Kekhawatiran nampak dengan berbagai peraturan Kemdiknas yang menggiring para pelaku pendidikan informal untuk masuk ke dalam jalur persekolahan formal. Misalnya keluarga keluarga yang menjalani pendidikan informal diminta untuk mendaftarkan anaknya kemudian diasses kurikulum rumahnya lalu anaknya digiring untuk ambil ijasah kesetaraan formal.

Padahal bisa saja Kemdiknas mendidik para orangtua untuk merancang sendiri kurikulum berbasis potensi untuk anak anak mereka sendiri, memfasilitasi anak anak usia belasan pada jalur pendidikan informal untuk mengambil sertifikasi internasional pada profesi yang menjadi minatnya, memobilisasi pemagangan nasional anak anak berbakat pada Maestro yang sesuai bakatnya dsbnya.

Indikator kesuksesan pendidikan nasional diukur dari jumlah anak yang bersekolah formal, bukan jumlah anak yang terus belajar dan berkarya dimanapun. Wajib belajar dipelintir menjadi wajib sekolah. Ini arogansi pendidikan formal yang tidak memahami bahwa generasi masa depan sebagian besar belum tentu menyukai pendidikan formal akademis.

Kakhawatiran lainnya adalah hadirnya komunitas pendidikan informal atau community based education. Walau ini juga dijamin UU. Pemerintah mencoba mensumirkan Community based Education (CBE) dengan Pendidikan berbasis masyarakat (PBM). Masyarakat dipahami dengan mudah sebagai sesuatu yang berbeda dengan komunitas. PBM ini dalam gagasan pemerintah bukan mendorong komunitas untuk mandiri membangun pendidikannya, malah dipaksa dibuat tergantung dan mengikuti kurikulum yang ada.

Sesungguhnya pendidikan berbasis masyarakat  bukanlah menyekolahkan masyarakat dengan keterampilan seperti menjahit dan buta huruf, tetapi yang benar adalah sebuah pendidikan yang memberdayakan dan memandirikan komunitas, dimana keluarga keluarga dalam sebuah wilayah bahu membahu mendidik anak anak mereka sendiri secara berjamaah.

Di sisi lain, menterjemahkan CBE sebagai Manajemen berbasis Sekolah (MBS) dimana sekolah dianggap sebagai komunitas itu sendiri dengan wujud komunitas itu berupa komite sekolah. Siapapun tahu bahwa Komite Sekolah ini umumnya hanya tukang stempel kemauan Kepala Sekolah dan kolega tetapnya, ketua komite. Ini sudah keterlaluan dan memasung kemandirian komunitas.

Yang paling baru adalah Direktorat KeayahBundaan, yang kemudian disumirkan menjadi Direktorat Pembinaan Keluarga (BinKel). Nampak bahwa AyahBunda sebagai sebuah entitas penting mendidik, kemudian disembunyikan dengan kata Keluarga lalu ditambah dengan kata pembinaan. Lagi lagi bahasa negatif yang penuh kecurigaan.

Sejak era Orde Baru, kita barangkali sudah kenyang dengan istilah "dibina" yang umumnya bermakna menerapkan program sepihak pada obyek yang harus dikendalikan, diawasi, diatur dstnya. Bahasa yang digunakan dalam menarasikan kemandirian rumah dan komunitas selalu digiring menjadi narasi kelemahan.

Barangkali pemerintah harus sadar, dunia kini sudah berubah, pemerintah dalam hal ini pendidikan seharusnya membuka diri seluasnya bagi pendidikan informal baik berbasis rumah maupun berbasis komunitas untuk mandiri menjalankan peran sejati keayahanbundaan di keluarga dan peran sejati pendidik di komunitas. Bukankah keluarga dan komunitas yang kuat akan menambah kuat negara?

Mari kita perkuat pendidikan berbasis rumah dan pendidikan berbasis komunitas, mulailah dengan narasi narasi besar peradaban dengan bahasa bahasa indah yang memerdekakan, membangkitkan dan menumbuhkan keindahan fitrah.

Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak

0 komentar:

Post a Comment